Halaman

Sabtu, 11 Mei 2013

KAJIAN FILM AADC



Film merupakan manifestasi perkembangan budaya masyarakat pada masanya. Dari zaman ke zaman, film mengalami perkembangan baik dari segi teknologi yang digunakan maupun tema yang diangkat. Hal ini disebabkan film berkembang sejalan dengan unsur-unsur budaya masyarakat yang melatarbelakanginya, termasuk di dalamnya adalah perkembangan bahasa.
Film AADC merupakan salah satu film yang menjadi tonggak kebangkitan film Indonesia. Film AADC merupakan film remaja Indonesia terlaris dan sebagai film yang memotivasi tumbuhnya film di Indonesia, khususnya film remaja. Film AADC telah merekam sejumlah unsur-unsur budaya baru. Salah satu unsur-unsur budaya yang dimaksud adalah perkembangan bahasa gaul remaja Indonesia. Dalam film AADC muncul bahasa-bahasa yang mungkin masih asing untuk sebagian kalangan karena hanya digunakan oleh remaja-remaja gaul ibu kota.
Pada dasarnya, remaja memiliki bahasa tersendiri dalam mengungkapkan ekspresi diri. Bahasa remaja tersebut kemudian dikenal sebagai bahasa gaul remaja. Bahasa gaul inilah yang ditangkap oleh penulis skenario untuk menghidupkan suasana atau atmosfer remaja dalam film remaja Indonesia seperti film AADC. Dialog film AADC sebagai representatif tutur remaja yang melatarbelakanginya sangat berbeda dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan tata bahasa Indonesia baku. Hal ini disebabkan bahasa gaul merupakan bahasa santai sebagai bahasa sehari-hari.
Dalam film AADC, dialog yang digunakan banyak menggunakan kedwibahasaan dan diglosia. Kedwibahasaan adalah kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Dialog yang digunakan dalam film AADC memang sering mencampurkan dua bahasa walau dituturkan secara pasif. Selain itu juga penggunaan dua dialek dari satu bahasa. Sedangkan diglosia adalah fenomena penggunaan ragam bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya.

Kedwibahasaan dan diglosia dapat dilihat dari dialog-dialog ini:
1.    Cinta : “Oke, ya udah deh Al. Asal loe tau, persahabatan kita juga nggak main-main. Dan kita juga jadi saksi kok. Loe itu kalau ada masalah di share, jangan disimpen sendiri.”
Dalam dialog di atas terdapat kedwibahasaan yaitu dari bahasa Indonesia + bahasa Inggris + bahasa Betawi + bahasa Jawa. (Oke dan share dari bahasa Inggris, loe dari bahasa Betawi, simpen dari bahasa Jawa, sedangkan yang lainnya dari bahasa Indonesia)
2.    Cinta : “Rese’! apa dia itu superstar? Sekalian aja gue wawancara Duta Sheila On 7 atau konsernya Dewa kek. Gila, nyebelin banget, tau nggak loe!”
Dalam dialog di atas terdapat kedwibahasaan yaitu dari bahasa Indonesia + bahasa Inggris + bahasa Betawi + bahasa Jawa. (Superstar dari bahasa Inggris, gue dan loe dari bahasa betawi, banget dari bahasa Jawa, sedangkan yang lainnya dari bahasa Indonesia). Dalam dialog tersebut juga terdapat diglosia yaitu kata “kek”.
3.    Rangga : “Maksudnya apa nih?”
Dalam dialog di atas terdapat diglosia yang menyisipi bahasa Indonesia.
4.    Pak Wardiman : “lho, masak saya suruh manggil-manggil neng Cinta kayak cowok kelas tiga saja?”
Dalam dialog di atas terdapat kedwibahasaan yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Sunda.
Selain kedwibahasaan dan diglosia, dalam film AADC juga terlihat adanya interferensi dan integrasi bahasa, hal itu merupakan akibat dari terjadinya kontak bahasa. Interferensi muncul karena terjadi kedwibahasaan secara tidak sengaja dan merupakan kebiasaan. Interferensi yang sering muncul dalam dialog adalah interferensi sintaksis, seperti dalam dialog : “Loe itu kalau ada masalah di share, jangan disimpen sendiri.” dan “Rese’! apa dia itu superstar?”
Sedangkan integrasi merupakan unsur serapan dari suatu bahasa yang telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya, sehingga pemakainya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa asing. Integrasi seperti terlihat dalam dialog : “Loe telepon ke rumah gue, jam berapa aja gue temenin, gue angkat, ngobrol ama gue.” Kata telepon menunjukkan adanya integrasi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata ngobrol menunjukkan adanya integrasi dalam bidang morfologi.
Melalui penjelasan di atas, secara tidak langsung dialog film AADC telah mengalami Alih Kode dan Campur Kode. Alih Kode terlihat dari penggunaan dua bahasa atau lebih dalam sebuah dialog. Sedangkan penyisipan bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia sudah termasuk Campur kode.

Pengaruh Budaya Terhadap Pemakaian Bahasa (Film Tanah Air Beta)


Nama   : Yulianingsih
NIM    : S841208049
Tugas   : Sosiolinguistik
Dosen  : Prof. Dr. Andayani,M.Pd

Pengaruh Budaya Terhadap Pemakaian Bahasa
(Film Tanah Air Beta)
Bahasa mempunyai relevansi yang kuat terhadap kebudayaan masyarakat pemakainya. Relevansi itu bisa berupa nada bahasa, konsep gramatikal bahasa, ataupun konsep tingkatan bahasa. Film Tanah Air Beta sangat kental dengan unsur-unsur budaya daerah karena menceritakan tentang kamp pengungsian di daerah Kupang NTT yang berbatasan dengan Timor Leste. Nada bahasa yang digunakan dalam dialog film Tanah Air Beta terkesan tegas dan cepat menunjukkan bahwa orang-orang Kupang dan Timor Leste tegas, gesit dan keras. Hal itu sangat mungkin dikarenakan daerah tersebut sarat dengan konflik yang menuntut masyarakat untuk sigap dalam segala kondisi.
Dalam film Tanah Air Beta, dialog banyak menggunakan bahasa daerah yang dicampur dengan bahasa Indonesia. Film Tanah Air Beta tetap menggunakan bahasa daerah yang cukup kental untuk menggambarkan suasana yang sebenarnya di daerah kamp pengungsian tersebut. Hal itu seperti ingin menunjukkan bahwa masyarakat di daerah perbatasan memang masih menjaga kelestarian bahasa daerah agar tetap hidup dan tidak punah. Selain itu pemakaian bahasa daerah yang dicampur dengan bahasa Indonesia tentu saja disesuaikan dengan situasi dan kondisi didaerah tersebut agar dapat dimengerti dan mampu berkomunikasi dengan baik.
Dialog menggunakan bahasa daerah misalnya saat Ci Iren mengeluarkan tas hitam yang terbuat dari kulit ke hadapan pembelinya. “Saya baru dapat tas. Coba tebak berapa harganya?” kata Ci Iren. Pembeli menjawab, “Sonde tau.” Dialog tersebut membuktikan adanya pemakaian bahasa daerah “Sonde tau” yang artinya dalam bahasa Indonesia “Tidak tahu.” Hal tersebut menjelaskan adanya alih kode dan campur kode.
Selain pemakaian bahasa daerah, hal yang menarik lainnya adalah saat adegan Merry dan Carlo mencari Mauro saat di perbatasan. Merry tidak dapat lagi mengenali Mauro karena mereka sudah berpisah lama. Merry dan Carlo menyanyikan lagu Kasih Ibu untuk mencari Mauro. Lagu Kasih Ibu adalah lagu yang sering mereka nyanyikan dulu. Mereka menggunakan lagu itu sebagai alat untuk saling mengenali satu sama lain.

Pengertian Wacana Menurut Para Ahli


A.    Pengertian Wacana Menurut Para Ahli
1.      Menurut Harimurti Kridalaksana, wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal. (1983:179 dalam Sumarlam, 2009:5).
2.      Henry Guntur Tarigan (1987:27) mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis.
3.      James Deese dalam karyanya Thought into Speech: the Psychology of a Language (1984:72, sebagaimana dikutip ulang oleh Sumarlam, 2009:6) menyatakan bahwa wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan, yaitu pengutaraan wacana itu.
4.      Fatimah Djajasudarma (1994:1) mengemukakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, membentuk satu kesatuan, proposisi sebagai isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan pernyataan (statement) dalam bentuk kalimat atau wacana.
5.      Hasan Alwi, dkk (2000:41) menjelaskan pengertian  wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.  Dengan demikian sebuah rentetan kalimat tidak dapat disebut  wacana jika tidak ada keserasian makna. Sebaliknya, rentetan kalimat membentuk wacana karena dari rentetan tersebut terbentuk makna yang serasi.
6.      I.G.N. Oka dan Suparno (1994:31) menyebutkan wacana adalah satuan bahasa yang membawa amanat yang lengkap.
7.      Sumarlam, dkk (2009:15) menyimpulkan dari beberapa pendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai batasan wacana di atas pengertian wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulis yang memiliki keterkaitan atau keruntutan antar bagian (kohesi), keterpaduan (koheren), dan bermakna (meaningful), digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial.       Berdasarkan pegertian tersebut, persyaratan terbentuknya wacana adalah penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran).  Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.

B.     Pengertian Analisis Wacana Menurut Para Ahli
1.      Stubbs di dalam Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language (1984:1) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana, sebagaimana berikut ini. “ (Analisis wacana) merujuk pada upaya mengkaji pengaturan bahasa di atas klausa dan kalimat, dan karenanya juga mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas. Seperti pertukaran percakapan atau bahasa tulis. Konsekuensinya, analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, khususnya interaksi antarpenutur”.
2.      Sarwiji Suwandi( 2008:145) mengemukakan bahwa analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi.
3.      Cook (1997:6) menjelaskan bahwa the search for what gives discourse coherence is discourse analysis. “Wacana berhubungan dengan pengkajian koherensi”.



Referensi :
Cook, Guy. 1997. Discourse. Oxford: Oxford University Press.
Fatimah Djajasudarma. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan antar Unsur. Bandung: Eresco.
Hasan Alwi, et.al. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Henry Guntur Tarigan. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
I.G.D Oka dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Depdikbud.
Sarwiji Suwandi. 2008. Serbalinguistik. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Stubbs, Michael. 1984. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell Publisher Limited.
Sumarlam, dkk. 2009. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta.

Selasa, 16 April 2013

Gaya Bahasa

a.   Pengertian Gaya Bahasa
Kartika (2005:82) menjelaskan Gaya merupakan estetika diri sendiri yang diekspresikan melalui bahasa dan kepribadian. Dalam Kamus Linguistik gaya atau khususnya gaya bahasa dalam retorika dikenal isitilah style. Kata style diturunkan dari bahasa latin stilus, yang artinya suatu keahlian dan kemampuan untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2008:112).
Dalam bahasa lisan nada tampak dalam intonasi, dalam bahasa tulis nada merupakan kualitas gaya yang memaparkan sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan dan juga merupakan sikap pengarang terhadap pembaca. Nada sangat bergantung pada gaya (Najid, 2003:27).
Gaya bahasa sebagai gejala penggunaan sistem tanda , dapat dipahami bahwa gaya bahasa pada dasarnya memiliki sejumlah matra hubungan. Matra hubungan tersebut dapat dikaitkan dengan dunia proses kreatif pengarang, dunia luar yang dijadikan obyek dan bahan penciptaan, fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri, dan dunia penafsiran penanggapnya (Aminuddin, 1995:54).
Gaya bahasa adalah pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan wacana untuk menghadapi situasi tertentu (Rahayu, 2005:11). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang.
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa. Majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiah.
b.      Sendi-sendi Gaya Bahasa
Syarat-syarat yang diperlukan untuk membedakan arti gaya bahasa yang baik dan buruk merupakan sendi-sendi gaya bahasa yang mengandung 3 unsur, yaitu (1) kejujuran, (2) sopan-santun, dan (3) menarik (Keraf, 2008:32), yaitu:
1)      Kejujuran
Kejujuran adalah ungkapan yang dilakukan seseorang karena melaksanakan sesuatu yang di dalamnya mencakup unsure keterbukaan dan apa adanya (Kurniawan, 2007:21).
Kejujuran dalam bahasa berarti mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tidak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran (Keraf, 2008:113). Jadi, kejujuran dalam bahasa adalah penggunaan bahasa yang tidak berbelit-belit sesuai dengan kaidah atau aturan yang telah ditetapkan.
2)      Sopan-santun
Sopan-santun adalah suatu kebiasaan untuk menghargai orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Keraf (2008:114) mendeskripsikan sopan-santun dalam bahasa adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak berbicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan dari kata-kata yang digunakan sesuai dengan bahasa dalam pergaulan. Kejelasan berarti bahasa yang digunakan tidak membuat orang lain bingung atau berpikir secara berat untuk dapat memahami bahasa yang digunakan seseorang. Adapun kesingkatan dalam pemakaian bahasa yang efektif dan mempergunakan kata-kata yang seefisien mungkin, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim dan menghindari repetisi yang tidak perlu.
3)   Menarik
Kejelasan dan kesingkatan dalam berbahasa merupakan langkah awal untuk membuat bahasa yang digunakan seseoran.g menjadi menarik perhatian lawan bicara.. Sebuah gaya bahasa yang menarik dapat diukur melalui komponen- komponen: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan penuh daya khayal (imajinasi). Untuk menarik perhatian ini seorang penulis perlu memiliki kekayaan kosakata, mengubah panjang-pendek kalimat, dan struktur- struktur morfologisnya (Keraf, 2008:115).
c.     Fungsi Gaya Bahasa
Gaya bahasa berbentuk retorik yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar. Bertolak dari pernyataan tersubut dapat dilihat dari fungsi gaya bahasa yaitu untuk meninggikan selera dan alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Penggunakan perhiasan bahasa pada umumnya untuk memperkuat atau mengistimewakan efek yang didasarkan pada perbandingan, pertentangan, asosiasi, persesuaian kata, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya bahasa sebagai berikut:
1)      Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk meninggikan selera.
2)      Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar.
3)      Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk menciptakan suasana tertentu.
4)      Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk memperkuat efek terhadap gagasan yang disampaikan.
d.     Macam Gaya Bahasa
1)   Gaya Bahasa Perbandingan
a)Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
b)Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
c)Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
d)Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
e)Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
f)Sinestesia: Metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
g)Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
h)Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
i)Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
j)Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
k)Litotes: Ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.
l)Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
m)Personifikasi: Pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
n)Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
o)Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
p)Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
q)Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus. 
r)Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya
s)Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
t)Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
u)Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
v)Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
w)Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.
2)   Gaya Bahasa Sindiran
a) Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
b)Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
c)Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
d)Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
e)Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.
3)   Gaya Bahasa Penegasan
a)Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
b)Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
c)Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
d)Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
e)Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
f)Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
g)Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
h)Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
i)Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
j)Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana atau kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
k)Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks atau lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
l)Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
m)Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
n)Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
o)Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
p)Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
q)Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
r)Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
s)Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
t)Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
u)Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
v)Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
w)Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
x)Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
y)Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.
4)   Gaya Bahasa Pertentangan
a)Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
b)Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
c)Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
d)Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
e)Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.