Halaman

Senin, 18 Maret 2013

Kajian Lintas Budaya Asal Usul Mitoni

PERMASALAHAN

1.      Asal usul Mitoni atau Tingkeban
Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut "mitoni".
Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) dan pitu (tujuh) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
Sedangkan menurut cerita yang beredar di masyarakat Ritual mitoni atau tingkeban telah ada sejak zaman kuno. Menurut penuturan yang diceritakan secara turun temurun, asal usulnya sebagai berikut: Sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken Satingkeb, pernah punya anak sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang berumur panjang. Mereka telah meminta bantuan banyak orang pintar, dukun, tetapi belum juga berhasil. Karena sudah tak tahan lagi menghadapi derita berat dan panjang, kedua suami istri itu memberanikan diri memohon pertolongan dari Jayabaya, sang ratu yang terkenal sakti dan bijak. Raja Jayabaya yang bijak dan yang sangat dekat dengan rakyatnya, dengan senang hati memberi bantuan kepada rakyatnya yang menderita. Beginilah sikap ratu masa dahulu.
Kedua suami istri, dinasihati supaya melakukan ritual, caranya:
Sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah kepada Gusti, selalu berbuat yang baik dan suka menolong dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan. Mereka harus menyucikan diri, manembah kepada Gusti, Tuhan dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber. Kemudian berpasrah diri lahir batin. Sesudah itu memohon kepada Gusti, Tuhan,  apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk penguat doa dan penolak bala, supaya mendapat berkah Gusti, Tuhan. Rupanya, Tuhan memperkenankan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapatkan momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingkeb, upacara mitoni juga disebut Tingkeban.
Dari lain sumber menyebutkan bahwa Mitoni dan Tingkeban yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung]. Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkeban [terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46].

2.      Tata cara Mitoni atau Tingkeban
Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan. Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
a)      Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
b)      Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
c)      Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
d)     Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
e)      Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi lancar.
f)       Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
g)      Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
h)      Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut, upacara mitoni dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut. Upacara-upacara mitoni memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
a)      Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
b)      Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
c)      Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
d)     Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
e)      Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
f)       Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
g)      Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayi yang sedang dikandung mudah kelahirannya.
h)      Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
Namun dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat acara Mitoni atau Tingkeban banyak yang mengalami perubahan karena disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan yang ada di daerah tersebut. Begitu juga acara mitoni di Desa Semin Kulon, tata cara sudah diringkas dan sudah lebih mengarah kepada tasyakuran dari pada ritual memuja hal yang gaib.

SITUASI MASYARAKAT

Dalam penelitian ini penulis mengamati tata cara Mitoni atau Tingkeban di Desa Semin Kulon Kecamatan Wonogiri. Di Desa Semin kulon, masyarakat kebanyakan bermata pencaharian sebagai PNS, wiraswasta, petani, dan buruh. Tingkat pendidikan yang dienyam oleh masyarakat Desa Semin Kulon sudah bagus. Hal tersebut dapat dilihat dari warga yang berumur kurang dari 30 tahun minimal merupakan lulusan SMA. Banyak warga yang merupakan lulusan sarjana. Di Desa Semin Kulon, seluruh masyarakatnya beragama Islam. Namun ada berbagai aliran agama Islam yang berkembang dimasyarakat seperti: NU, Muhammadiyah, LDII, Islam Kejawen, dan Islam Abangan.
Rasa kebersamaan dan gotong royong masih terjalin sangat baik di Desa Semin Kulon ini. Masyarakat dapat saling menghormati dan menghargai. Jarang terjadi perbedaan pendapat yang sangat mencolok antar masyarakat. Selama ini perbedaan pendapat yang ada dimasyarakat dapat diselesaikan dengan baik melalui musyawarah bersama.


KONFLIK

Budaya mitoni masih sangat lekat dengan budaya jawa dan merupakan salah satu budaya yang paling populer di kalangan masyarakat jawa. Begitu pula dikalangan masyarakat yang tinggal di Desa Semin Kulon Kecamatan Wonogiri. Mayoritas masyarakat di Desa Semin Kulon menganggap budaya mitoni merupakan tradisi yang benar-benar sakral dan pantang dilewatkan, hal tersebut mengingat paham tentang ketakutan mereka akan ketidaksempurnaan bayi saat dilahirkan bila tidak dipitoni. Selain itu adanya ketakutan kalau yang gaib merasa ditinggalkan dan bayi tersebut dapat saja dikutuk untuk dijadikan peringatan nantinya. Hal lainnya tentu saja untuk meneruskan budaya yang telah lama turun temurun dari nenek moyang, sehingga sering kali jika ada keluarga yang tidak melakukan akan dicela warga lain.
Mitoni merupakan peninggalan dari jaman Hindu yang sudah mendarah daging dimasyarakat Desa Semin Kulon. Masyarakat yang menganut Islam Kejawen dan Islam Abangan menyebutkan bahwa ajaran ini juga mengandung nilai-nilai dan merupakan salah satu wujud ibadah islami yaitu untuk minta selamat pada yang kuasa melalui ibadah berbentuk ceremonial yang kerap kali memang disisipi nuansa islami misalnya Sholawatan, Yasinan, dan doa bersama. Banyak urutan tata cara mitoni yang diubah dan disesuaikan sendiri oleh para pelaku dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan adat istiadat setempat dan aliran agama yang mereka anut.
Meski demikian, tidak sepenuhnya masyarakat berpendapat sama dan memberi tanggapan positif akan paham tersebut. Justru paham inilah yang seringkali menimbulkan protes keras dari beberapa pihak. Para penganut agama Islam aliran NU, Muhammadiyah, dan LDII menyebutkan bahwa paham tersebut sama sekali bukan ajaran Islam dan melenceng jauh dari nilai-nilai agama Islam, bahkan diantaranya menganggap acara tersebut haram dilakukan karena dianggap melenceng akan agama (bid’ah). Masyarakat yang menganut aliran agama tersebut tidak mau datang keundangan acara mitoni yang diadakan warga lain. Hal tersebut dapat menyinggung warga yang mengundang dan dapat menimbulkan pergunjingan yang tidak baik dikalangan masyarakat.
Perbedaan pendapat antara masyarakat yang memberikan tanggapan positif dengan masyarakat yang memberikan tanggapan negatif, jika tidak ada rasa toleransi dan saling menghargai dapat menimbulkan konflik di masyarakat Desa Semin Kulon tersebut. Hal tersebut harus segera dicarikan jalan keluar agar tidak terjadi perselisihan dan perpecahan diantara warga masyarakat Desa Semin Kulon.

RESOLUSI ATAU DISKUSI

Mitoni merupakan warisan budaya yang telah lama ada dan mendarah daging di masyarakat jawa. Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog, pada hakekatnya ialah upacara peralihan yang dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Selain itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan dimata kelompok sosial masyarakatnya.
Perbedaan pandangan tentang budaya mitoni dikalangan masyarakat dapat berakibat fatal jika kedua belah kubu tidak dapat saling mengalah dan coba membenarkan pendapat mereka sendiri-sendiri. Hal tersebut dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan masyarakat. Masyarakat yang menganggap budaya mitoni tidak seharusnya diadakan karena bertentangan dengan syariat Islam seharusnya dapat memberikan pengertian secara halus dan sabar kepada masyarakat yang masih melaksanakan budaya mitoni. Hal tersebut untuk menanamkan pemahaman secara bertahap agar tidak terkesan memaksakan perubahan yang sangat signifikan.
Pelaksanaan mitoni sekarang ini memang telah berangsur-angsur berubah dari pada pelaksanaan dahulu. Jika dahulu lebih kearah magis, pelaksanaan mitoni sekarang lebih mengarah kereligi. Banyak penyesuaian tata cara mitoni mengarah kepada tasyakuran. Kegiatan kondangan yang dulu dipimpin oleh dukun atau orang yang dituakan sudah diganti dengan acara pengajian yang dipimpin oleh ustad. Acara mandi kembang sudah banyak yang ditiadakan. Tata cara mitoni tersebut diubah dan disesuaikan sesuai dengan kemauan yang punya hajat dengan tidak meninggalkan kesakralan acara tersebut.
Kebudayaan merupakan kekayaan bangsa yang patut untuk dijaga dan di lestarikan, tentunya begitu pula dengan mitoni. Namun sebagai penganut Islam yang baik sudah semestinya pula masyarakat dapat menjadikan agama bukan hanya sebagai ucapan lidah, namun juga alat seleksi kebudayaan mana yang patut untuk dilakukan dan tidak bertentangan dengan ajaran yang diyakini. Kebudayaan memang kerap berhubungan dengan nilai-nilai yang bersifat religius, namun bukan berarti harus di kait-kaitkan dengan religi lain yang ada.

Minggu, 17 Maret 2013

Permasalahan Pengajaran Bahasa



1.      Jelaskan konsep-konsep berikut ini dari berbagai pakar dan sintesiskan!
a.       Hakikat bahasa
Tarigan (1990:2-3) mengemukakan adanya delapan  prinsip dasar hakikat bahasa, yaitu (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal, (3) bahasa tersusun daripada lambang-lambang arbitrari, (4) setiap bahasa bersifat unik, (5) bahasa dibangun daripada kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa ialah alat komunikasi, (7) bahasa berhubungan erat dengan tempatnya berada, dan (8) bahasa itu berubah-ubah.
Pendapat ini tidak berbeda dengan yang dikatakan Brown juga dalam Tarigan (1990:2-3) yang apabila dilihat banyak sekali persamaan gagasan mengenai bahasa itu walaupun dengan kata-kata yang sedikit berbeda. Berikut ini merupakan hakikat bahasa menurut pendapat Brown yang juga dikutip dari Tarigan (1990:4), yaitu (1) bahasa adalah suatu sistem yang sistematik, barang kali juga untuk sistem generatif, (2) bahasa adalah seperangkat lambang-lambang arbitrari, (3) lambang-lambang tersebut, terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga bersifat visual, (4) lambang-lambang itu mengandung makna konvensional, (5) bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi, (6) bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa atau budaya, (7) bahasa pada hakikatnya bersifat kemanusiaan, walaupun mungkin tidak terbatas pada manusia saja, (8) bahasa diperoleh semua orang/bangsa dengan cara yang hampir/banyak persamaan dan (9) bahasa dan belajar bahasa mempunyai ciri kesejagatan.
Bahasa dapat dilihat daripada dua aspek, yaitu hakikat dan fungsinya (Nababan, 1991:46). Hakikat bahasa mengacu pada pembicaraan sistem/struktur atau Langue, sedangkan fungsi bahasa menyangkut pula pembicaraan proses atau parole (Saussure, 1993, Kleden, 1997:34). Hubungan kedekatan yang tidak dapat dipisahkan antara sistem dengan proses ini dilukiskan oleh Kleden dengan kalimat: ’Tanpa proses sebuah struktur (sistem) akan mati, tanpa struktur (sistem) proses akan kacau’. Jadi, antara hakikat bahasa dan fungsi bahasa itu sendiri merupakan suatu konsep dua fungsi bahasa
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat bahasa yaitu bahasa merupakan suatu sistem yang berupa vokal, yang mampu menjelaskan tentang lambang-lambang, sebagai alat komunikasi dan mempunyai sifat kesejagatan.

b.      Fungsi bahasa
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
              i.      Bahasa sebagai alat ekspresi diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Pada taraf  permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang  sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).
            ii.      Bahasa sebagai alat komunikasi
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.
          iii.      Bahasa sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat  hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
          iv.      Bahasa sebagai alat kontrol sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
Menurut Tarigan (1987), fungsi bahasa adalah sebagai sarana komunikasi. Dalam arti luas, komunikasi adalah proses transaksi dinamis yang memandatkan komunikator untuk (to code) berperilaku, verbal maupun nonverbal.
Menurut Hallyday (1992) Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi untuk keperluan:
             i.       Fungsi instrumental, bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu.
           ii.       Fungsi regulatoris, bahasa digunakann untuk mengendalikan prilaku orang lain.
         iii.       Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.
         iv.       Fungsi personal, bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.
           v.       Fungsi heuristik, bahasa dapat digunakan untuk belajar dan menemukan sesuatu.
         vi.       Fungsi imajinatif, bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi.
       vii.       Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan informasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi yang mampu digunakan untuk mengekspresikan dirinya, beradaptasi terhadap lingkungannya, dan sebagai kontrol sosial.
c.       Hakikat pengajaran bahasa
Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa (Degeng, 1989). Kegiatan pengupayaan ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Gilstrap dan Martin (1975) juga menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pembelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pembelajar bahasa diarahkan ke dalam empat sub aspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat pengajaran bahasa adalah upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi.

d.      Tujuan pengajaran bahasa
Tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi (1) siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara, (2) siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial, (4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pengajaran bahasa adalah untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi siswa, baik lisan maupun tulisan.

2.      Jelaskan pengertian bahasa baku dan ciri-cirinya!
Setiap negara atau suatu wilayah umumnya memiliki bahasa resmi masing-masing yang digunakan oleh rakyatnya. Pengertian bahasa baku adalah bahasa yang menjadi bahasa pokok yang menjadi bahasa standar dan acuan yang digunakan sehari-hari dalam masyarakat. Bahasa baku mencakup pemakaian sehari-hari pada bahasa percakapan lisan maupun bahasa tulisan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI : 2007), baku adalah pokok utama atau tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan atau standar. Dalam bukunya, Abdul Chaer (1997 : 4) mengatakan bahwa bahasa baku adalah salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok, yang dijadikan dasar atau yang dijadikan standar. Menurut Kridalaksana (1978) dalam E. Zaenal Arifin bahwa bahasa baku termasuk dalam ragam bahasa resmi, yaitu bahasa yang digunakan dalam situasi formal atau resmi baik itu lisan maupun tulisan, digunakan dalam wacana teknis, dalam pembicaraan di depan umum (ceramah, kuliah, kotbah), dan saat berbicara dengan orang yang dihormati yaitu orang yang lebih tua, yang lebih tinggi status sosialnya maupun yang baru dikenal.
Menurut Abdul Chaer (1997 : 5-8) bahasa baku dapat ditandai dengan ciri-cirinya, sebagai berikut:
a.       Pemakaian kaidah tata bahasa normatif, yang selalu digunakan secara eksplisit dan konsisten, misalnya:
                      i.       Pemakaian awalan me- dan awalan ber- secara eksplisit dan konsisten:
Bahasa baku
Bahasa tidak baku
Gubernur meninjau daerah kebakaran.
Gubernur tinjau daerah kebakaran.
Anaknya bersekolah di Bandung.
Anaknya sekolah di Bandung.
                    ii.       Pemakaian kata penghubung bahwa dan karena dalam kalimat majemuk secara eksplisit dan konsisten, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
Ia tidak tahu bahwa anaknya sering bolos.
Ia tidak tahu anaknya sering bolos
Ibu guru marah kepada Andi karena ia sering bolos.
Ibu guru marah kepadas Andi, ia sering bolos.
                  iii.       Pemakaian pola frase untuk predikat aspek+pelaku+kata kerja secara konsisten, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
Surat Anda sudah saya terima.
Surat Anda saya sudah baca.
                  iv.       Pemakaian konstruksi sintesis, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
Anaknya
Dia punya anak
memberitahukan
Kasih tahu
                    v.       Menghindari pemakaian unsur gramatikal dialek ragional atau unsur gramatikal bahasa daerah, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
Mobil paman saya baru.
Paman saya mobilnya baru.
b.      Penggunaan Kata-kata Baku
Maksudnya adalah kata-kata yang digunakan adalah kata-kata umum yang sudah lazim digunakan atau yang frekuensi penggunaannya cukup tinggi. Misalnya:
Bahasa baku
Bahasa tidak baku
Cantik sekali
Cantik banget
Lurus saja
Lempeng saja
Masih kacau
Masih semrawut
Uang
Duit
Tidak mudah
Enggak gampang
Diikat dengan kawat
Diikat sama kawat
Bagaimana kabarnya?
Gimana kabarnya?
c.       Penggunaan Ejaan dalam Ragam Tulis
Ejaan yang berlaku dalam bahasa Indonesia saat ini adalah ejaan yang disebut ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD). EYD mengatur mulai dari penggunaan huruf, penulisan kata (dasar, berimbuhan, gabungan, ulang, dan serapan), penulisan partikel, penulisan angka, penulisan unsur serapan, sampai pada penggunaan tanda baca, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
Bersama-sama
Bersama2
Melipatgandakan
Melipat-gandakan
Pergi ke pasar
Pergi kepasar
Ekspres
Ekpres, espres
sistem
Sistim
d.      Penggunaan Lafal Baku dalam Ragam Lisan
Lafal baku dalam bahasa Indonesia adalah lafal bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau ciri-ciri lafal daerah, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
[atap]
[atep]
[menggunakan]
[menggunakeun]
[kalaw]
[kalo], [kalo’]
[jumat]
[jum’at]
[Habis]
[abis]
[mahgrib]
[mah’grib]
[subuh]
[suboeh]
e.       Penggunaan Kalimat Secara Efektif
Kalimat-kalimat yang digunakan dapat dengan tepat menyampaikan pesan pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembaca, persis seperti yang dimaksud oleh si pembicra atau si penulis. Keefektifan kalimat ini dapat dicapai, antara lain:
                    i.     Susunan kalimat menurut aturan tata bahasa yang benar, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
Tindakan-tindakan kekerasan itu menyebabkan penduduk dan keluarganya merasa tidak aman.
Tindakan-tindakan kekerasan itu menyebabkan penduduk merasa tidak aman dan keluarganya.
                  ii.     Adanya kesatuan pikiran dan hubungan yang logis di dalam kalimat, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
Dia datang ketika kami sedang makan.
Ketika kami sedang makan dan dia datang
                iii.     Penggunaan kata secara tepat dan efisien, misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa Tidak Baku
Bayarlah dengan uang pas!
Kepada para penumpang diharapkan membayar dengan uang pas.
                iv.     Penggunaan variasi kalimat atau pemberian tekanan pada unsur kalimat yang ingin ditonjolkan, misalnya:
Kalimat Biasa
Kalimat Bertekanan
Dengan pisau dikupasnya mangga itu
Dengan pisaulah dikupasnya mangga itu.

3.      Sebutkan dan jelaskan peran guru Bahasa Indonesia dalam upaya mewujudkan pembelajaran Bahasa Indonesia yang efektif!
Guru yang mampu mewujudkan pembelajaran yang efektif adalah guru yang memiliki konsep diri positif dan mampu menciptakan situasi belajar yang kondusif. Hal yang menjadi faktor pendukungnya antara lain:
  1. Luwes dalam pembelajaran
  2. Empati dan peka terhadap segala kebutuhan siswa
  3. Mampu mengajar sesuai dengan selera siswa
  4. Mau dan mampu memberikan peneguhan (reinforcement)
  5. Mau dan mampu memberikan kemudahan, kehangatan, dan tidak kaku, dalam proses pembelajaran
  6. Mampu menyesuaikan emosi, percaya diri, dan riang dalam proses pembelajaran.
Dalam melaksanakan tugasnya, guru memiliki beberapa peran, antara lain:
a.       Peran Guru sebagai Demonstrator
Sebagai demonstrator, guru adalah seorang pengajar dari bidang ilmu yang ia kuasai. Oleh karena itu, agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang guru Bahasa Indonesia harus menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan. Ia harus senantiasa belajar meningkatkan penguasaannya terhadap materi-materi pembelajaran Bahasa Indonesia.
b.      Peran Guru sebagai Pengelola Kelas
Sebagai pengelola kelas, seorang guru harus mampu menciptakan suasana atau kondisi belajar di kelas. Ia juga harus mamapu merangsang siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran, terampil mengendalikan suasana kelas agat tetap hangat, aman, menarik dan kondusif.
c.       Peran Guru sebagai Mediator dan Fasilitator
Sebagai mediator, seorang guru dituntut memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan sebagai alat komunikasi dalam proses pembelajaran. Dan terampil memilih, menggunakan, mengusahakan media pendidikan, serta mampu menjadi media (perantara) dalam hubungan antar siswa dalam proses belajar mengajar.
Sebagai Fasilitator, guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar dan berguna serta dapat menunjang tercapainya tujuan dalam proses belajar-mengajar, baik yang berwujud narasumber, buku teks, majalah, surat kabar, maupun sumber belajar lainnya.
d.      Peran Guru sebagai Evaluator
Sebagai evaluator, seorang guru dituntut mampu melakukan proses evaluasi, baik untuk mengetahui keberhasilan dirinya dalam melaksanakan pembelajaran (feed back), maupun untuk menilai hasil belajar siswa.
Untuk mewujudkan peran ini, seorang guru dituntut memiliki keterampilan sebagai berikut :
                    i.     Mampu merumuskan alat tes yang valid dan reliable.
                  ii.     Mampu menggunakan alat tes dan non-tes yang tepat.
                iii.     Mampu melaksanakan penilaian secara objektif, jujur dan adil.
                iv.     Menindak lanjuti hasil evaluasi secara proporsional.

Referensi:
Arifin, E. Zaenal, S. Amran Tasai. 1986. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: MSP.
Chaer, Abdul. 1997. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Kedudukan dan fungsi bahasa. Bandung: Angkasa.