Halaman

Minggu, 17 Maret 2013

Analisis Hubungan Intertekstual Sajak Kusangka (Amir Hamzah) dengan Penerimaan (Chairil anwar)


PENDAHULUAN
Karya sastra mempunyai hubungan sejarah antara karya sezamannya, yang mendahului atau yang kemudian. Hubungan demikian dapat mencakup persamaan maupun pertentangannya. Untuk mendalami hubungan antar teks demikian, penting dibicarakan karya sastra tersebut dalam kaitannya dengan karya sezaman, sebelum, dan sesudahnya. Hal ini untuk mengetahui bagaimana hubungan atau kaitan antar teks yang mungkin terjadi. Dalam konteks inilah muncul metode kritik intertekstualitas, yakni metode penelitian sastra dengan jalan membandingkan, mensejajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2005: 132-135).
Hal tersebut dikemukakan juga oleh Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Selanjutnya dikatakan Rifaterre (1978:11,23) bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar karya sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram.
Dalam realitasnya, karya sastra yang muncul kemudian ada yang bersifat menentang gagasan atau ide sentral hipogramnya, ada yang justru menguatkan atau mendukung, namun ada juga yang memperbarui gagasan yang ada dalam hipogram Prinsip intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna terhadap sebuah teks sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Dalam menanggapi teks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pemikiran-pemikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semuanya itu ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang tak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta situasi zamannya.

PEMBAHASAN
Chairil Anwar boleh disebut sebagai penyair yang dimenangkan oleh sejarah, di mana keberadaannya dalam dunia kesusasteraan lebih banyak ditopang oleh faktor kebetulan. Di saat itu, kebetulan sejarah Indonesia tengah bergolak, dan sedang menyongsong fajar kemerdekaan. Kebetulan Chairil Anwar hidup di masa itu, kebetulan iklim sastra belum sesubur sekarang, kebetulan Chairil Anwar fasih berbahasa Belanda sebagaimana kebanyakan orang pada saat itu. Akan tetapi, bukan suatu kebetulan bahwa dengan kefasihan Chairil Anwar menjadi tahu banyak tentang kesusasteraan dunia, dan “mencuri” beberapa sajak karya yang dikaguminya.
Puisi-puisi Chairil Anwar ada beberapa yang dalam bayang-bayang Amir Hamzah. Beberapa sajak Chairil Anwar memiliki kemiripan suasana, setting, dengan ide-ide awal Amir Hamzah. Berikut ini kasus intertekstual antara puisi “Penerimaan” Chairil Anwar dengan sajak “Kusangka” karya Amir Hamzah.

KUSANGKA (Amir Hamzah)

Kusangka cemburu kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri.....
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.

Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari.....
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.

Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak.....
Melati yang ada
Pandai tergeletak.....
Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa.....
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan.....

Igauanku subuh, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih.....
Kulihat kumbang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cembu.

Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulumata menyangga panah Asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segera.
                                                      (Buah Rindu, 1959:19)


PENERIMAAN (Chairil anwar)

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Djangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
                                                      (Deru Campur Debu, 1959: 36)

Sajak Chairil Anwar merupakan penyimpangan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih meneruskan konsep estetik sastra lama. Pandangan romantik Amir Hamzah ditentang dengan pandangan realistiknya. Sajak “Kusangka” menunjukkan kesejajaran gagasan yang digambarkan dalam keenam sajak tersebut. Amir Hamzah menggunakan ekspresi romantik secara metaforis-alegoris, membandingkan gadis dengan bunga. Pada bait terakhir dimetaforakan sebagai bidadari (hauri) dan merpati.
Dari keenam bait tersebut disimpulkan bahwa si aku mencintai gadis yang disangka murni, tetapi ternyata sesungguhnya sudah tidak murni lagi. Sudah dijamah oleh pemuda lain atau sudah tidak perawan lagi (“Rupanya teratai patah kelopak/Dihinggapi kumbang berpuluh kali”. “Kulihat kumbang keliling berlagu/kelopakmu terbuka menerima cembu”). Hal itu menimbulkan kekecewaan dan menyebabkan hati si aku remuk. Wasangka dan was-was silih berganti (bait 1). Dengan demikian, si aku tidak mau bersama gadis yang sudah tidak murni lagi, sebab akan terkena kuku “merpati” itu (bait 7).
Gadis yang masih murni (disangka murni) diumpamakan cempaka kembang (bait 1), baharu kembang belum terkena sinar matahari (bait 2), cempaka harum (bait 3), seroja terapung di paya putih seperti awan (bait 4), dan seperti bidadari (hauri) bertudung lingkup yang bulu matanya menambah panah asmara (bait 6).
Gambaran tersebut bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya yang sangat menyakitkan bagi si aku dan sangat kecewa setelah mengetahui kisah yang sebenarnya. Gambaran gadis tersebut sudah tidak murni lagi diumpamakan melur telah diseri (bait 1), teratai patah kelopak dihinggapi kumbang berpuluh kali (bait 2), merpati yang pandai bergelak (bait 3), mawar yang mengandung lumpur (bait 4), dan merpati yang mengaku segera (bait 6).
Jadi yang menanggapi masalah tersebut si aku merasa kecewa karena pikiran romantik bahwa gadis yang dicintainya itu harus masih murni dan tetap murni, setia pada si aku, tidak boleh menerima cinta orang lain, namun kenyataan berlainan. Tidak sesuai dengan keinginan si aku. Sikap romantik digambarkan dengan bahasa yang indah, mengambil objek dari alam sebagai perumpamaan, sehingga seperti natural.
Sebaliknya Chairil Anwar, dalam sajaknya itu menampilkan tampak yang lain dalam mendiskripsikan atau menanggapi gadis yang sudah tidak murni lagi. Sangat berlawanan dengan apa yang ditampilkan oleh Amir Hamzah. Ia berpandangan realistik, si aku mau menerima kembali wanita (kekasihnya, istrinya) yang barang kali telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Si aku mau menerima kembali asal mau kembali kepada si aku tanpa ada rasa curiga. Si aku masih sendiri, tidak mencari wanita lain sebagai pasangan hidupnya karena masih menunggu kembalinya wanita yang dicintainya itu.
Si aku mengetahui bahwa gadis yang dicintainya sudah tidak murni lagi, sudah seperti bunga yang sarinya terbagi, yaitu sudah dihinggapi kumbang lain. Wanita itu jika ingin mau diterima kembali harus berani bertemu dengan si aku dan jangan malu untuk menemui si aku. Digambarkan “Djangan tunduk! Tantang aku dengan berani”. Si aku pun tetap menerima dengan sepenuh hati walaupun wanita itu sudah tidak perawan lagi.
Chairil Anwar membandingkan wanita dengan bunga (kembang). Wanita yang sudah tidak murni digambarkan sebagai bunga yang sarinya sudah terbagi (bak kembang sari yang sudah terbagi). Ini hampir sama dengan perumpamaan yang dilakukan Amir Hamzah: “Rupanya teratai patah kelopak/dihinggapi kumbang berpuluh kali dan kulihat kumbang keliling berlaga”. Sedangkan Chairil Anwar: ”Kutau kau bukan yang dulu lagi/bak kembang sari sudah terbagi”. Namun Chairil Anwar tetap menggunakan bahasa keseharian dalam pengungkapan dan menggunakan gaya ekspresi yang padat.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan intertekstual dari sajak “Penerimaan” Chairil Anwar merupakan tentangan terhadap sajak “Kusangka” Amir Hamzah. Kedua penyair itu memiliki pandangan yang berbeda. Bisa dilihat dari sajaknya yaitu Amir Hamzah dalam sajak Kusangka, sudah tidak memiliki keinginan lagi untuk mengambil si gadis (untuk dijadikan kekasih atau istri), sebab si gadis sudah tidak suci lagi. Sedangkan Chairil, dengan sikapnya yang realistis, mau menerima si gadis (wanita) kembali, meskipun telah pernah dijamah oleh laki-laki lain selain aku, namun si wanita mesti mutlak menjadi miliknya, tanpa harus berbagi dengan cermin sekalipun.
Selain analisis intertekstual, sajak Kusangka (Amir Hamzah) dengan Penerimaan (Chairil anwar) dapat di Analisis Gaya dan Gaya Bahasanya. Sajak yang dihasilkan oleh Amir Hamzah dan Chairil Anwar merupakan sajak dengan kualitas gaya tinggi. Namun untuk gaya bahasa yang digunakan, kedua penyair memiliki gaya tersendiri dalam membahasakan kata hatinya melalui baris-baris sajak. Dalam hal ini, Amir Hamzah menggunakan gaya bahasa yang romantis sehingga menjadi tidak padat, yakni mengurai panjang ide atau gagasan yang sebenarnya sudah ada dalam bait pertama dan keenam. Selain itu, ada beberapa majas yang digunakan dalam sajak tersebut yaitu majas asonansi, terletak pada bait ketiga “Kupohonkan cempaka, harum mula terserak/Melati yang ada, pandai tergelak”. Kedua, majas metafora terletak pada bait pertama “Kusangka cempaka kembang setangkai”. Cempaka di sini maksudnya ialah si gadis.
Kemudian Chairil Anwar, dalam penggunaan bahasa sebenarnya juga masih menggunakan bahasa yang agak sedikit romantis. Meskipun demikian, dapat dilihat secara menyeluruh Chairil mempergunakan bahasa sehari-hari dengan gaya ekspresi yang padat. Tidak perlu mengurai panjang gagasan yang dimiliki, sebab pada bait pertama diulang dengan bait kelima. Tentang penegasan bahwa si aku mau menerima kembali si gadis (untuk menjadi kekasih atau istrinya). Hanya saja letak perbedaan bait kelima tersebut, yaitu menyatakan kemutlakan tentang keinginan si aku dalam menerima si gadis. Dan untuk majas yang digunakan ialah majas simile, yaitu membandingkan si wanita yang sudah tidak suci lagi dengan kata-kata pada baris kelima “bak kembang sari sudah terbagi”.
Kemudian mengenai aliran yang digunakan oleh kedua penyair tersebut. Amir Hamzah menggunakan aliran romantisisme, sedangkan Chairil Anwar menggunakan aliran realisme. Dikatakan demikian, sebab seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa sajak Kusangka (Amir Hamzah) menggunakan sikap romantik dalam puisi tersebut. Sikap romantik itu pun digambarkan melalui bahasa yang romantik pula, yakni bahasa yang sangat indah. Sedangkan Chairil dikatakan menganut aliran realisme sebab dalam sajaknya tersebut nampak jelas sikap realistis yang ditunjukkan oleh Chairil, yakni mau, kuterima, kembali, tetap sendiri, jangan tunduk, untukku sendiri, tapi, dengan cermin, aku, kau, enggan berbagi.
Perbandingan Aspek Stilistika pada sajak Kusangka (Amir Hamzah) dengan Penerimaan (Chairil anwar) dapat dilihat melalui terciptanya persamaan bunyi “putih bersih”, “kau mau”. Kemudian pada bait keenam puisi Kusangka “Bulumata menyangga panah Asmara”, aspek stilistika sastranya ditunjukkan melalui persamaan bunyi ‘a’ sehingga menimbulkan kualitas estetis. Sedangkan untuk puisi Penerimaan, aspek stilistika sastranya ditunjukkan melalui persamaan bunyi ‘u’ pada bait pertama “Kalau kau mau kuterima kau kembali”.
Prinsip yang digunakan dalam sajak Kusangka (Amir Hamzah) dengan Penerimaan (Chairil anwar) ialah prinsip ekuivalensi. Hal ini terlihat pada baris pertama sajak Penerimaan “Kalau kau mau kuterima kau kembali”. Ekuivalensi yang sangat menonjol adalah persamaan bunyi ‘u’ sebanyak lima kali, bunyi ‘k’ juga sebanyak lima kali. Sedangkan sajak Kusangka pada bait pertama “Kusangka cempaka kembang setangkai”. Ekuivalensi yang sangat menonjol adalah persamaan bunyi ‘k’ sebanyak lima kali.

DAFTAR PUSTAKA
Amir Hamzah. 1959a. Buah Rindu. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Chairil Anwar. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan.
Michael Riffaterre. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.
Rachmat Djoko Pradopo. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rachmat Djoko Pradopo. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar