PENDAHULUAN
Karya sastra mempunyai
hubungan sejarah antara karya sezamannya, yang mendahului atau yang kemudian.
Hubungan demikian dapat mencakup persamaan maupun pertentangannya. Untuk
mendalami hubungan antar teks demikian, penting dibicarakan karya sastra
tersebut dalam kaitannya dengan karya sezaman, sebelum, dan sesudahnya. Hal ini
untuk mengetahui bagaimana hubungan atau kaitan antar teks yang mungkin terjadi.
Dalam konteks inilah muncul metode kritik intertekstualitas, yakni metode
penelitian sastra dengan jalan membandingkan, mensejajarkan, dan mengkontraskan
sebuah teks transformasi dengan hipogramnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2005:
132-135).
Hal tersebut dikemukakan
juga oleh Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978)
bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan
ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Selanjutnya dikatakan Rifaterre
(1978:11,23) bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar karya sastra
sesudahnya itu itu disebut hipogram.
Dalam realitasnya, karya sastra yang
muncul kemudian ada yang bersifat menentang gagasan atau ide sentral
hipogramnya, ada yang justru menguatkan atau mendukung, namun ada juga yang
memperbarui gagasan yang ada dalam hipogram Prinsip intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna terhadap
sebuah teks sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu
selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Dalam menanggapi teks
itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik
sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pemikiran-pemikiran,
konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semuanya itu
ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang tak terlepas dari
pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta situasi zamannya.
PEMBAHASAN
Chairil Anwar boleh
disebut sebagai penyair yang dimenangkan oleh sejarah, di mana keberadaannya
dalam dunia kesusasteraan lebih banyak ditopang oleh faktor kebetulan. Di saat
itu, kebetulan sejarah Indonesia tengah bergolak, dan sedang menyongsong fajar
kemerdekaan. Kebetulan Chairil Anwar hidup di masa itu, kebetulan iklim sastra
belum sesubur sekarang, kebetulan Chairil Anwar fasih berbahasa Belanda
sebagaimana kebanyakan orang pada saat itu. Akan tetapi, bukan suatu kebetulan
bahwa dengan kefasihan Chairil Anwar menjadi tahu banyak tentang kesusasteraan
dunia, dan “mencuri” beberapa sajak karya yang dikaguminya.
Puisi-puisi Chairil
Anwar ada beberapa yang dalam bayang-bayang Amir Hamzah. Beberapa sajak Chairil
Anwar memiliki kemiripan suasana, setting, dengan ide-ide awal Amir Hamzah.
Berikut ini kasus intertekstual antara puisi “Penerimaan” Chairil Anwar dengan
sajak “Kusangka” karya Amir Hamzah.
KUSANGKA (Amir Hamzah)
Kusangka cemburu kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri.....
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.
Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari.....
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak.....
Melati yang ada
Pandai tergeletak.....
Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa.....
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan.....
Igauanku subuh, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih.....
Kulihat kumbang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cembu.
Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulumata menyangga panah Asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segera.
(Buah Rindu, 1959:19)
PENERIMAAN (Chairil anwar)
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Djangan tunduk! Tentang aku dengan
berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
(Deru Campur
Debu, 1959: 36)
Sajak Chairil Anwar
merupakan penyimpangan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih
meneruskan konsep estetik sastra lama. Pandangan romantik Amir Hamzah ditentang
dengan pandangan realistiknya. Sajak “Kusangka” menunjukkan kesejajaran gagasan
yang digambarkan dalam keenam sajak tersebut. Amir Hamzah menggunakan ekspresi
romantik secara metaforis-alegoris, membandingkan gadis dengan bunga. Pada bait
terakhir dimetaforakan sebagai bidadari (hauri) dan merpati.
Dari keenam bait
tersebut disimpulkan bahwa si aku mencintai gadis yang disangka murni, tetapi
ternyata sesungguhnya sudah tidak murni lagi. Sudah dijamah oleh pemuda lain
atau sudah tidak perawan lagi (“Rupanya teratai patah kelopak/Dihinggapi
kumbang berpuluh kali”. “Kulihat kumbang keliling berlagu/kelopakmu terbuka
menerima cembu”). Hal itu menimbulkan kekecewaan dan menyebabkan hati si aku
remuk. Wasangka dan was-was silih berganti (bait 1). Dengan demikian, si aku
tidak mau bersama gadis yang sudah tidak murni lagi, sebab akan terkena kuku
“merpati” itu (bait 7).
Gadis yang masih murni
(disangka murni) diumpamakan cempaka kembang (bait 1), baharu kembang belum
terkena sinar matahari (bait 2), cempaka harum (bait 3), seroja terapung di
paya putih seperti awan (bait 4), dan seperti bidadari (hauri) bertudung
lingkup yang bulu matanya menambah panah asmara (bait 6).
Gambaran tersebut
bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya yang sangat menyakitkan bagi si aku dan sangat kecewa setelah
mengetahui kisah yang sebenarnya. Gambaran gadis tersebut sudah tidak murni
lagi diumpamakan melur telah diseri (bait 1), teratai patah kelopak dihinggapi
kumbang berpuluh kali (bait 2), merpati yang pandai bergelak (bait 3), mawar
yang mengandung lumpur (bait 4), dan merpati yang mengaku segera (bait 6).
Jadi yang menanggapi
masalah tersebut si aku merasa kecewa karena pikiran romantik bahwa gadis yang
dicintainya itu harus masih murni dan tetap murni, setia pada si aku, tidak
boleh menerima cinta orang lain, namun kenyataan berlainan. Tidak sesuai dengan
keinginan si aku. Sikap romantik digambarkan dengan bahasa yang indah,
mengambil objek dari alam sebagai perumpamaan, sehingga seperti natural.
Sebaliknya Chairil
Anwar, dalam sajaknya itu menampilkan tampak yang lain dalam mendiskripsikan
atau menanggapi gadis yang sudah tidak murni lagi. Sangat berlawanan dengan apa
yang ditampilkan oleh Amir Hamzah. Ia berpandangan realistik, si aku mau
menerima kembali wanita (kekasihnya, istrinya) yang barang kali telah
berselingkuh dengan laki-laki lain. Si aku mau menerima kembali asal mau
kembali kepada si aku tanpa ada rasa curiga. Si aku masih sendiri, tidak
mencari wanita lain sebagai pasangan hidupnya karena masih menunggu kembalinya
wanita yang dicintainya itu.
Si aku mengetahui bahwa
gadis yang dicintainya sudah tidak murni lagi, sudah seperti bunga yang sarinya
terbagi, yaitu sudah dihinggapi kumbang lain. Wanita itu jika ingin mau
diterima kembali harus berani bertemu dengan si aku dan jangan malu untuk
menemui si aku. Digambarkan “Djangan tunduk! Tantang aku dengan berani”. Si aku
pun tetap menerima dengan sepenuh hati walaupun wanita itu sudah tidak perawan lagi.
Chairil Anwar membandingkan
wanita dengan bunga (kembang). Wanita yang sudah tidak murni digambarkan
sebagai bunga yang sarinya sudah terbagi (bak kembang sari yang sudah terbagi).
Ini hampir sama dengan perumpamaan yang dilakukan Amir Hamzah: “Rupanya teratai
patah kelopak/dihinggapi kumbang berpuluh kali dan kulihat kumbang keliling
berlaga”. Sedangkan Chairil Anwar: ”Kutau kau bukan yang dulu lagi/bak kembang
sari sudah terbagi”. Namun
Chairil Anwar tetap menggunakan bahasa
keseharian dalam pengungkapan dan menggunakan gaya ekspresi yang padat.
Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa hubungan intertekstual dari sajak “Penerimaan” Chairil Anwar
merupakan tentangan terhadap sajak “Kusangka” Amir Hamzah. Kedua penyair itu
memiliki pandangan yang berbeda. Bisa dilihat dari sajaknya yaitu Amir Hamzah
dalam sajak Kusangka, sudah tidak memiliki keinginan lagi untuk mengambil si
gadis (untuk dijadikan kekasih atau istri), sebab si gadis sudah tidak suci
lagi. Sedangkan Chairil, dengan sikapnya yang realistis, mau menerima si gadis (wanita)
kembali, meskipun telah pernah dijamah oleh laki-laki lain selain aku, namun si
wanita mesti mutlak menjadi miliknya, tanpa harus berbagi dengan cermin
sekalipun.
Selain analisis intertekstual, sajak Kusangka (Amir Hamzah)
dengan Penerimaan (Chairil anwar) dapat di Analisis Gaya dan Gaya Bahasanya. Sajak yang dihasilkan oleh Amir
Hamzah dan Chairil Anwar merupakan sajak dengan kualitas gaya tinggi. Namun
untuk gaya bahasa yang digunakan, kedua penyair memiliki gaya tersendiri dalam
membahasakan kata hatinya melalui baris-baris sajak. Dalam hal ini, Amir Hamzah
menggunakan gaya bahasa yang romantis sehingga menjadi tidak padat, yakni
mengurai panjang ide atau gagasan yang sebenarnya sudah ada dalam bait pertama
dan keenam. Selain itu, ada beberapa majas yang digunakan dalam sajak tersebut
yaitu majas asonansi, terletak pada bait ketiga “Kupohonkan cempaka, harum mula
terserak/Melati yang ada, pandai tergelak”. Kedua, majas metafora terletak pada
bait pertama “Kusangka cempaka kembang setangkai”. Cempaka di sini maksudnya
ialah si gadis.
Kemudian Chairil Anwar,
dalam penggunaan bahasa sebenarnya juga masih menggunakan bahasa yang agak
sedikit romantis. Meskipun demikian, dapat dilihat secara menyeluruh Chairil
mempergunakan bahasa sehari-hari dengan gaya ekspresi yang padat. Tidak perlu
mengurai panjang gagasan yang dimiliki, sebab pada bait pertama diulang dengan
bait kelima. Tentang penegasan bahwa si aku mau menerima kembali si gadis
(untuk menjadi kekasih atau istrinya). Hanya saja letak perbedaan bait kelima
tersebut, yaitu menyatakan kemutlakan tentang keinginan si aku dalam menerima
si gadis. Dan untuk majas yang digunakan ialah majas simile, yaitu
membandingkan si wanita yang sudah tidak suci lagi dengan kata-kata pada baris
kelima “bak kembang sari sudah terbagi”.
Kemudian mengenai
aliran yang digunakan oleh kedua penyair tersebut. Amir Hamzah menggunakan
aliran romantisisme, sedangkan Chairil Anwar menggunakan aliran realisme.
Dikatakan demikian, sebab seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa sajak Kusangka
(Amir Hamzah) menggunakan sikap romantik dalam puisi tersebut. Sikap romantik
itu pun digambarkan melalui bahasa yang romantik pula, yakni bahasa yang sangat
indah. Sedangkan Chairil dikatakan menganut aliran realisme sebab dalam
sajaknya tersebut nampak jelas sikap realistis yang ditunjukkan oleh Chairil,
yakni mau, kuterima, kembali, tetap sendiri, jangan tunduk, untukku sendiri,
tapi, dengan cermin, aku, kau, enggan berbagi.
Perbandingan Aspek Stilistika pada sajak Kusangka (Amir
Hamzah) dengan Penerimaan (Chairil anwar) dapat dilihat melalui terciptanya persamaan
bunyi “putih bersih”, “kau mau”. Kemudian pada bait keenam puisi Kusangka
“Bulumata menyangga panah Asmara”, aspek stilistika sastranya ditunjukkan
melalui persamaan bunyi ‘a’ sehingga menimbulkan kualitas estetis. Sedangkan
untuk puisi Penerimaan, aspek stilistika sastranya ditunjukkan melalui persamaan
bunyi ‘u’ pada bait pertama “Kalau kau mau kuterima kau kembali”.
Prinsip yang digunakan
dalam sajak Kusangka (Amir
Hamzah) dengan Penerimaan (Chairil anwar) ialah prinsip ekuivalensi. Hal ini
terlihat pada baris pertama sajak Penerimaan “Kalau kau mau kuterima kau kembali”.
Ekuivalensi yang sangat menonjol adalah persamaan bunyi ‘u’ sebanyak lima kali,
bunyi ‘k’ juga sebanyak lima kali. Sedangkan sajak Kusangka pada bait pertama “Kusangka
cempaka kembang setangkai”. Ekuivalensi yang sangat menonjol adalah persamaan
bunyi ‘k’ sebanyak lima kali.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir
Hamzah. 1959a. Buah Rindu.
Jakarta: Pustaka Rakyat.
Chairil
Anwar. 1959. Deru Campur Debu.
Jakarta: Pembangunan.
Michael Riffaterre. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and
London: Indiana University Press.
Rachmat
Djoko Pradopo. 2005. Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rachmat
Djoko Pradopo. 2010. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar