1. Hakikat
Linguistik
Menurut Harimurti Kridalaksana, linguistik adalah ilmu tentang tata
bahasa, penyelidikan bahasa secara ilmiah. Lebih jauh lagi, linguistik adalah
ilmu yang khusus mempelajari bahasa. Maksudnya, sistem tanda bunyi yang
disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu
dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi (2005: 3).
Kata linguistik berasal dari kata latin lingua yang berarti
bahasa. Dalam bahasa-bahasa Roman berarti bahasa-bahasa yang berasal dari
bahasa latin. Dalam bahasa latin langue dan langange dalam bahasa
Perancis, dan lingua dalam bahasa Itali, Verhaar (2004: 3)
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa lingustik adalah ilmu
yang khusus mempelajari bahasa, tata bahasa, dan penyelidikan bahasa secara ilmiah.
Sehingga dapat dipergunakan dalam hal bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasi.
2.
Latar Belakang
Linguistik Fungsional
Linguistik
fungsional dipelopori oleh Roman Jakobson dan Andre Martinet, kehadirannya
sangat berarti dalam upaya menjembatani kesenjangan (gap) antara linguistik
struktural Amerika dan Eropa. Linguistik struktural (Eropa) banyak dipengaruhi
oleh gagasan fungsi-fungsi linguistik yang menjadi ciri khas aliran Praha.
Trubeckoj terkenal mengembangkan metode-metode deskripsi fonologi, maka R.
Jakobson terkenal karena telah menyatakan dengan pasti pentingnya fonologi
diakronis yang mengkaji kembali dikotomi-dikotomi F. De Saussure antara lain
dikotomi yang memisahkan dengan tegas sinkronis dan diakronis.
Andre Martinet banyak mengembangkan teori-teori aliran Praha. Dengan
tulisannya tentang netralisasi dan segmentasi. Pikiran-pikirannya telah
memperkaya dan mengembangkan studi linguistik, terutama fonologi deskriptif,
fonologi diakronis, sintaksis, dan linguistik umum, disamping ia menerapkan
metode dan linguistik modern dengan menaruh perhatian yang luar biasa pada
kenyataan bahasa aktual.
Selain Andre Martin, dalam aliran Praha juga terdapat tokoh lain sebagai
pemrakarsa berdirinya linguistik fungsional, Vilem Mathesius. Yang mengemukakan
bahwa telaah bahasa dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Selain itu juga
dikemukakan fungsi utama bahasa dan fungsi khusus. Selain itu, aliran ini
membedakan fonetik dan fonologi, morfologi, dan sintaksis, (Kushartanti,dkk,
2005: 204-205).
Gagasan Jakobson merupakan pengembangan dari pemikiran-pemikiran aliran
Praha. Selain fungsi linguistik sebagai ciri khas sekolah Praha, ia juga
menyoroti fungsi-fungsi unsur tertentu dan fungsi-fungsi aktivitas linguistik
itu sendiri. Jakobson memandang suatu tindak linguistik dari enam sudut, yaitu
(1) dalam hubungan dengan pembicara, (2) pendengar, (3) konteks, (4) kontak,
(5) kode, dan (6) pesan. Sehingga ia menemukan enam fungsi, yaitu:
1.
Ekspresif,
berpusat pada pembicara, yang ditujukan oleh interjeksi-interjeksi;
2.
Konatif,
berpusat pada pendengar, yang ditujukan oleh vokatif dan imperative;
3.
Denotative,
berpusat pada konteks, yang ditujukan oleh pernyataan-pernyataan
faktual, dalam pelaku ketiga, dan dalam
suasana hati indikatif;
4.
Phatic,
berpusat pada kontak, yang ditujukan oleh adanya jalur yang tidak
terputus antara pembicara dan
pendengar. Misalnya, dalam pembicaraan melalui
telefon, kata-kata ‘hello,
ya..ya…, heeh’ yang dipergunakan untuk membuat
jelas bahwa seseorang masih
mendengarkan dan menunjukan jalur percakapan
tidak terputus;
5.
Metalinguistik,
berpusat pada kode; yang berupa bahasa pengantar ilmu
pengetahuan, biasanya berisi
rumus-rumus atau lambang-lambang tertentu;
6.
Puitis,
berpusat pada pesan.
Selanjutnya gagasan dan pandangan Jakobson lain adalah telaah tentang aphasia
dan bahasa kanak-kanak. Aphasia yang dimaksud adalah gejala kehilangan
kemampuan menggunakan bahasa lisan baik sebagian maupun seluruhnya, sebagai
akibat perkembangan yang salah. Gangguan afasik dapat dikelompokkan menjadi
dua, yakni:
1.
Similarity disorders, yang mempengaruhi seleksi dan subtitusi
item, dengan
stabilitas kombinasi dan konstektur yang bersifat
relative.
2.
Contiguity disorders, yang seleksi dan subtitusinya
secara relative normal
sedangkan kombinasi rusak dan tidak gramatikal, urutan
kata kacau, hilangnya infleksi dan preposisi, konjungsi, dan sebagainya
Jakobson juga menekankan pentingnya korelasi-korelasi fonologis sebagai
seuntai perbedaan-perbedaan arti yang terpisah. Menurut buku Jakobson dan
Halle Fundamentals of Language, 1956, menyatakan ciri-ciri expressive,
configurative, dan distinctive:
1.
Expressive, meletakan tekanan pada bagian
ujaran yang berbeda atau pada
ujaran yang berbeda; menyarankan sikap emosi
pembicara;
2.
Configurative, menandai bagian ujaran ke dalam
satuan-satuan gramatikal,
dengan memisahkan ciri kulminatif satu persatu, atau
dengan memisahkan membatasinya (ciri-ciri demarkatif);
3.
Distinctive, bertindak untuk memperinci satuan-satuan
linguistik, dimana ciri-
ciri itu terjadi secara serempak dalam untaian, yang
berujud fonem. Fonem-fonem dirangkaikan ke dalam urutan; pola dasar urutan
serupa itu berujud suku kata. Dalam setiap suku kata terdapat bagian yang lebih
nyaring yang berupa puncak. Bila puncak itu berisi dua fonem atau lebih, maka
salah satu daripadanya adalah puncak fonem atau puncak suku kata.
Tokoh lain dalam linguistik fungsional adalah Andre Maertinet, ia juga
mengembangkan teori-teori Sekolah Praha. Pikiran-pikiran Martinet
mengenai fonologi deskriptif, fonologi diakronis, sintaksis, dan linguistik
umum merupakan sumbangan pemikiran bagi linguistik modern. Fonologi sebagai
fonetik fungsional harus berdasarkan fakta-fakta dasar atau mengetahui
fungsi-fungsi perbedaan bunyi bahasa sebagaimana mestinya.
Martinet mencurahkan perhatian pada fonologi diakronis, dengan mencoba
membuat deskripsi murni, dimana fonologisasi dan defonologisasi direkam,
disertai keterangan tentang perubahan-perubahan menurut prinsip-prinsip umum.
Kriterium interpretasi dasar diberikan oleh dua unsur yang berlawanan: (1)
efisiensi dalam komunikasi, dan (2) tendensi pada upaya yang minimum. Ia juga
menyatakan analisis fonem ke dalam ciri-ciri distingtif mengungkapkan adanya
korelasi-korelasi, dimana sebuah fonem yang terintegrasi dalam untaian
korelatif akan menjadi stabil. Ia telah mengembangkan gagasan artikulasi rangkap
yang menarik. Ucapan bahasa pertama-tama melalui suatu artikulasi dalam monem-monem
yang berupa unit-unit dasar gramatis yang oleh para linguis Amerika disebut morphem.
Sejumlah ujaran yang tak terbatas dapat diidentifikasikan oleh monem-monem yang
terbatas jumlahnya. Setiap artikulasi melibatkan ekspresi dan isi. Monem adalah
satuan dwimuka: ekpresi dan isi. Bagi Martinet, konsep dasar analisis fonologi
yaitu fonem sedangkan bagi Jakobson yaitu ciri distingtif.
Martinet juga menerapkan wawasan fungsionalnya pada sintaksis, dan telah
mensintesakan teori-teorinya itu dalam tulisan-tulisan yang ringkas dan
seimbang: Elements of General Linguistics, dan A Functional View of
Language. Didalam karya tersebut dirumuskan dengan jelas perbedaan antara
(i) monem fungsional, seperti preposisi, kasus akhiran, yang konetif dan centrifugal
yang menunjukkan adanya hubungan diantara satu unsur dengan bagian ujaran; dan
(ii) monem pengubah, seperti satuan gramatikal artikel yang centripetal;
nilai tunggal atau jamak dan unsur-unsur yang dibutuhkan.
Martinet juga menggarisbawahi juga fungsi sintaksis sebagai gagasan yang
sentral. Gagasannya ini berupa kelanjutan wawasan fungsional yang telah disarankan
oleh Sekolah Praha. Fungsi-fungsi bahasa dan fungsi-fungsi unsur linguistik
sebagai suatu sistem unsur-unsur atau struktur unsur-unsur, dipelajari untuk
menjelaskan perbedaan bahasa dengan sistem tanda buatan yang mungkin
distrukturkan dalam suatu cara yang sama tetapi tak dapat memiliki
fungsi-fungsi yang sama seperti bahasa. Bagaimanapun pandangan struktural itu
dapat dirujukkan kembali dengan pandangan fungsional, meskipun hal itu bagi
Martinet adalah pelengkap logisnya. Pilihan nama fungsional sebagai pengganti
struktural, menunjukkan bahwa aspek fungsional adalah paling membuka pikiran,
dan bahwa hal itu tidak mesti dipelajari secara terpisah dari yang lain (http://aimar-azz.blogspot.com/2011/01/linguistik-fungsional-dalam-bahasa.html).
3.
Hakikat
Linguistik Fungsional
Linguistik fungsional adalah analisis bahasa yang menekankan
fungsi, dan menandai karya para sarjana dari aliran Praha dan Kopenhagen serta
sarjana-sarjana lain (Harimurti Kridalaksana, 2001: 127).
Linguistik fungsional
merupakan gerakan linguistik yang beranggapan bahwa struktur fonologis, gramatikal
dan semantik ditentukan oleh fungsi yang dijalankan oleh masyarakat dan bahasa
itu sendiri mempunyai fungsi yang beraneka ragam, menurut Kridalaksana (dalam http://aimar-azz.blogspot.com/2011/01/linguistik-fungsional-dalam-bahasa.html).
Berdasarkan
penjabaran tersebut dapat ditarik benang merah bahwa linguistik fungsional
adalah analisis dalam bahasa yang beranggapan bahwa struktur fonologis, gramatikal,
dan semantik ditentukan oleh fungsi yang dijalankan oleh masyarakat dan bahasa
tersebut mempunyai fungsi sendiri.
4.
Kelebihan
Linguistik Fungsional
Pada khasanah kebahasaan, bila memahami gagasan dan pandangan linguistik
Fungsional, maka aliran ini sangat mempengaruhi tata bahasa dalam khasanah
perkembangan linguistic sebelumnya, sekaligus membuka cakrawala baru agar aspek
fungsional menjadi pertimbangan penelitian bahasa. Dengan menelurkan istilah
fungsional, praktis landasan yang digunakan dalam melihat bahasa berdasarkan
fungsi, khususnya tataran fonologi, morfem, dan sintaksis. Keunggulan aliran
ini adalah kita dapat mengetahui bahwa setiap fonem (bunyi) itu memiliki
fungsi, sehingga dapat, membedakan arti. Setiap monem (istilah Martinet) yang
diartikulasikan memiliki isi dan ekspresi, dengan begitu dapat dilihat
fungsinya. Kemudian pada tataran yang lebih besar yaitu sintaksis, aliran ini
menekankan pada fungsi preposisi dan struktur kalimat, maksudnya unsur
linguistik dalam sebuah kalimat dapat dijelaskan dengan merujuk pada fungsi
sehingga ditemukan pemahaman logis yang utuh. Jadi, aliran ini telah berhasil
melihat setiap komponen bahasa berdasarkan fungsi dan menginspirasi gagasan
adanya relasi antara struktur dan fungsi bahasa.
Sementara dalam dunia sastra, gagasan Jakobson tentang enam fungsi bahasa
menjadi pijakan dalam menelaah karya sastra. Idenya tersebut melahirkan istilah
model komunikasi sastra, yang memusatkan pada pesan yang terkandung dalam karya
sastra. Model ini banyak diadopsi untuk menggali fungsi bahasa dalam wacana
baik wacana ilmiah maupun non ilmiah, sastra maupun non sastra (http://aimar-azz.blogspot.com/2011/01/linguistik-fungsional-dalam-bahasa.html).
5.
Kekurangan
Linguistik Fungsional
Dalam
kebahasaan, aliran ini tentunya memiliki beberapa titik lemah,diantaranya
gagasan fungsional tidak menyentuh secara mendalam komponen fungsional untuk
menentukan makna dalam penelitian bahasa, seperti pada tataran sintaksis hanya
menyebutkan adanya fungsi dalam setiap struktur bahasa, namun tidak menjelaskan
terminologi apa saja yang tercakup di dalamnya. Selanjutnya, bagaimana menyusun
kalimat yang benar berdasarkan fungsi pun tidak jelas. Demikian halnya pada
tataran fonologi dan morfologi. Jadi, kelemahan aliran ini adalah tidak mampu
menguraikan fungsi unsur linguistik lebih rinci, khsususnya . pada tataran
sintaksis. Dalam struktur kalimat, gagasan aliran ini tidak menjelaskan
komponen apa saja yang tercakup dalam aspek fungsional pada kalimat. Sebagaimana
kita ketahui ada fungsi lain dalam kalimat yaitu fungsi semantis dan fungsi
pragmatis.
Sementara
dalam dunia sastra, fungsi bahasa yang dinyatakan oleh Jakobson, ketika
diterapkan dalam menganalisis karya sastra memiliki kekurangan. Model komunikasi
sastra Jakobson tidak memperhatikan potensi kebahasaan yang lain. Model
mengabaikan relevansi sosial budaya. Padahal, sosial budaya memainkan peranan
penting dalam memahami makna bahasa, terlebih dalam karya sastra karena di
dalamnya melibatkan aspek sosio cultural yang sangat kental. Mengacu pada model
komunikasi sastra, karya sastra hanya bertumpu pada pesan yang disampaikan,
padahal pemahaman karya sastra sangat tergantung pada pemahaman pembaca. Adanya
unsur keterkaitan intertektualitas dan intratekstualitas dalam memahami karya
sastra perlu diperhatikan, karena setiap karya sastra tidak ada yang berdiri
sendiri (http://aimar-azz.blogspot.com/2011/01/linguistik-fungsional-dalam-bahasa.html).
6.
Penerapan
Linguistik Fungsional dalam Bahasa Indonesia
Penerapan linguistik fungsional dalam bahasa Indonesia menurut
aliran Praha mencakup; fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Ketika berbicara fungsi maka kita harus memahami konsep fungsi dalam bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia. Bisa jadi konsep yang ditawarkan oleh aliran ini
tidak dapat diserap dalam semua bentuk, struktur dan fungsi sesungguhnya dalam
bahasa Indonesia. Sebagian kita dapat memperhatikan contoh berikut ini:
Fonologi
|
Morfologi
|
Sintaksis
|
<baku> /b/, /a/, /k/, /u/
<saku> /p/, /a/, /k/, /u/
|
Me + tulis
Pe + tulis
|
Letusan Gunung Merapi itu telah menewaskan 200
orang.
|
I. Jika dilihat
dari contoh fonologi, penggunaan fonem /b/ pada kata <baku> dan /p/ pada
<paku> tidak mempunyai makna. Namun karena diposisikan bersama sebagai
pasangan minimal (minimal pairs), dimana keduanya daerah artikulasi yang sama
yakni bilabial, maka penggunaan fonem /b/ dan /p/ menjadi memiliki fungsi
pembeda makna.
II. Dari aspek
morfologi dapat dilihat contoh penggunaan awalan Me- dan Pe-. Awalan me-tulis
dan pe-tulis memiliki fungsi pembeda. Me-tulis menjadi ‘menulis’ sebagai kata
kerja dan pe-tulis menjadi ‘penulis’. Penggunaan morfem bebas atau kata dasar
yang sama namun didahului oleh morfem terikat yang berbeda maka fungsinya pun
menjadi berbeda.
III. Selanjutnya
dari tataran sintaksis, kalimat tersebut memiliki struktur yang benar. Jika
disegmentasikan kalimat itu menjadi /letusan gunung Merapi/, /menewaskan/, dan
/200 orang/. Pemenggalan struktur kalimat dilakukan berdasarkan fungsi
masing-masing unsur.
Kemudian penerapan fungsi bahasa menurut Jakobson dapat kita aplikasikan
dalam analisis wacana baik berupa teks maupun non-teks. Penerapan aliran
fungsional dalam bahasa Indonesia tidak sepenuhnya dapat diterima. Selain
adanya konsep bahasa yang berbeda, namun juga sulit mencari padanan istilah
dalam bahasa Indonesia. Namun demikian aliran ini sangat mempengaruhi dalam
perkembangan tata bahasa bahasa Indonesia. Dengan mengenal fungsional maka kita
mengetahui fungsi bahasa bukan hanya sebagai sistem ‘langue’ (istilah Sassure),
tetapi juga dalam bentuk tuturan ‘parole’.
Dalam ranah
kesusasteraan, enam fungsi bahasa dapat dimanfaatkan untuk menelaah karya
sastra. Model komunikasi sastra yang lebih dikenal dengan model komunikasi
Jakobson dapat digunakan dalam kajian, puisi, novel, drama, dan hal lain yang
menggunakan bahasa. Jadi, sebagai pijakan awal dalam mengkaji bahasa baik dalam
sastra mapun linguistik, enam fungsi bahasa dapat diterapkan dalam analisis
bahasa Indonesia. Kendati demikian, sangat diperlukan adanya pengembangan
konsep dan gagasan yang dapat menjawab problematika kebahasaan secara tuntas (http://aimar-azz.blogspot.com/2011/01/linguistik-fungsional-dalam-bahasa.html).
7.
Penutup
1) Baik Jakobson maupun Martinet menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem
tanda yang bermakna yang memiliki fungsi. Bahasa merupaka semiotika sosial.
Kirsten (1991:160)
2) Linguistik Fungsional merupakan gerakan linguistik yang beranggapan bahwa
struktur fonologis, gramatikal dan semantic ditentukan oleh fungsi yang
dijalankan oleh masyarakat dan bahwa bahasa itu sendiri memfunyai fungsi yang
beraneka ragam.Kridalaksana (2008:68)
3) Gagasan-gagasannya merupakan pengembangan dari Aliran Praha.
4) Daya tarik pemikiran fungsionalisme ini diadopsi oleh pemikiran-pemikiran
dan gagasan linguistik selanjutnya, seperti MAK Halliday.
DAFTAR PUSTAKA
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Linguistik
Fungsional dalam Bahasa. http://aimar-azz.blogspot.com/2011/01/linguistik-fungsional-dalam-bahasa.html. diunduh 19 September 2012.
Kushartanti,
dkk. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Verhaar, J. W.
M. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Terimakasih postingannya. Sangat membantu.
BalasHapus