PERMASALAHAN
1. Asal usul Mitoni atau Tingkeban
Wong Jowo
atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Begitu
luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat
yang sarat dengan makna simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan
manusia sejak masa pra kelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk
memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut "mitoni".
Dalam
tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat
ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari
kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) dan pitu (tujuh) yang berarti
suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan
suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa
kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan
dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Mitoni tidak
dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk
menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari
Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan
diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk
menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa
disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum
petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan
masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya
diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup
untuk menyelenggarakan upacara.
Sedangkan
menurut cerita yang beredar di masyarakat Ritual mitoni atau tingkeban telah
ada sejak zaman kuno. Menurut penuturan yang diceritakan secara turun temurun,
asal usulnya sebagai berikut: Sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken
Satingkeb, pernah punya anak sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang
berumur panjang. Mereka telah meminta bantuan banyak orang pintar, dukun,
tetapi belum juga berhasil. Karena sudah tak tahan lagi menghadapi derita berat
dan panjang, kedua suami istri itu memberanikan diri memohon pertolongan dari
Jayabaya, sang ratu yang terkenal sakti dan bijak. Raja Jayabaya yang bijak dan
yang sangat dekat dengan rakyatnya, dengan senang hati memberi bantuan kepada
rakyatnya yang menderita. Beginilah sikap ratu masa dahulu.
Kedua suami istri, dinasihati supaya melakukan ritual, caranya:
Sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah kepada Gusti, selalu berbuat yang baik dan suka menolong dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan. Mereka harus menyucikan diri, manembah kepada Gusti, Tuhan dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber. Kemudian berpasrah diri lahir batin. Sesudah itu memohon kepada Gusti, Tuhan, apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk penguat doa dan penolak bala, supaya mendapat berkah Gusti, Tuhan. Rupanya, Tuhan memperkenankan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapatkan momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingkeb, upacara mitoni juga disebut Tingkeban.
Sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah kepada Gusti, selalu berbuat yang baik dan suka menolong dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan. Mereka harus menyucikan diri, manembah kepada Gusti, Tuhan dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber. Kemudian berpasrah diri lahir batin. Sesudah itu memohon kepada Gusti, Tuhan, apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk penguat doa dan penolak bala, supaya mendapat berkah Gusti, Tuhan. Rupanya, Tuhan memperkenankan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapatkan momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingkeb, upacara mitoni juga disebut Tingkeban.
Dari lain sumber menyebutkan bahwa Mitoni dan Tingkeban
yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi
masyarakat Hindu. Upacara
ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim
(kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung].
Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkeban
[terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46].
2. Tata
cara Mitoni atau Tingkeban
Secara
teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota
keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat
seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan.
Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
a)
Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai
pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara
simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau
kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses
kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan
dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
b)
Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain
(sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur
dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar
mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral
melintang.
c)
Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa
gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan
Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis
dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek
calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa
itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi. Secara
simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan
kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti
tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra
merupakan tokoh ideal orang Jawa.
d)
Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain
sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben
yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga
memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
e)
Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan
di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti dengan daun kelapa atau janur.
Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi
lancar.
f)
Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari
tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji
keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga
tetap mudah.
g)
Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak
yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
h)
Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran
anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini
dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan
cepat mengelilingi kampung.
Dengan
dilaksanakannya seluruh upacara tersebut, upacara mitoni dianggap selesai
ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan.
Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau
meramaikan upacara tersebut. Upacara-upacara mitoni memiliki simbol-simbol atau
makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
a)
Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada
arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di
tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
b)
Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih
pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
c)
Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar
calon bayi selalu dalam keadaan segar.
d)
Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning),
yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau
bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi
lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
e)
Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur
yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang
kelahiran bayi.
f)
Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang
diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau
sudah lahir.
g)
Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayi yang
sedang dikandung mudah kelahirannya.
h)
Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung
makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan,
bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
Namun dalam
pelaksanaannya di dalam masyarakat acara Mitoni atau Tingkeban banyak yang
mengalami perubahan karena disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan yang ada di
daerah tersebut. Begitu juga acara mitoni di Desa Semin Kulon, tata cara sudah
diringkas dan sudah lebih mengarah kepada tasyakuran dari pada ritual memuja
hal yang gaib.
SITUASI MASYARAKAT
Dalam
penelitian ini penulis mengamati tata cara Mitoni atau Tingkeban di Desa Semin Kulon
Kecamatan Wonogiri. Di Desa Semin kulon, masyarakat kebanyakan bermata
pencaharian sebagai PNS, wiraswasta, petani, dan buruh. Tingkat pendidikan yang
dienyam oleh masyarakat Desa Semin Kulon sudah bagus. Hal tersebut dapat
dilihat dari warga yang berumur kurang dari 30 tahun minimal merupakan lulusan
SMA. Banyak warga yang merupakan lulusan sarjana. Di Desa Semin Kulon, seluruh
masyarakatnya beragama Islam. Namun ada berbagai aliran agama Islam yang
berkembang dimasyarakat seperti: NU, Muhammadiyah, LDII, Islam Kejawen, dan
Islam Abangan.
Rasa
kebersamaan dan gotong royong masih terjalin sangat baik di Desa Semin Kulon
ini. Masyarakat dapat saling menghormati dan menghargai. Jarang terjadi
perbedaan pendapat yang sangat mencolok antar masyarakat. Selama ini perbedaan
pendapat yang ada dimasyarakat dapat diselesaikan dengan baik melalui
musyawarah bersama.
KONFLIK
Budaya
mitoni masih sangat lekat dengan budaya jawa dan merupakan salah satu budaya
yang paling populer di kalangan masyarakat jawa. Begitu pula dikalangan
masyarakat yang tinggal di Desa Semin Kulon Kecamatan Wonogiri. Mayoritas
masyarakat di Desa Semin Kulon menganggap budaya mitoni merupakan tradisi yang
benar-benar sakral dan pantang dilewatkan, hal tersebut mengingat paham tentang
ketakutan mereka akan ketidaksempurnaan bayi saat dilahirkan bila tidak
dipitoni. Selain itu adanya ketakutan kalau yang gaib merasa ditinggalkan dan
bayi tersebut dapat saja dikutuk untuk dijadikan peringatan nantinya. Hal
lainnya tentu saja untuk meneruskan budaya yang telah lama turun temurun dari
nenek moyang, sehingga sering kali jika ada keluarga yang tidak melakukan akan
dicela warga lain.
Mitoni
merupakan peninggalan dari jaman Hindu yang sudah mendarah daging dimasyarakat
Desa Semin Kulon. Masyarakat yang menganut Islam Kejawen dan Islam Abangan menyebutkan
bahwa ajaran ini juga mengandung nilai-nilai dan merupakan salah satu wujud
ibadah islami yaitu untuk minta selamat pada yang kuasa melalui ibadah
berbentuk ceremonial yang kerap kali memang disisipi nuansa islami misalnya
Sholawatan, Yasinan, dan doa bersama. Banyak urutan tata cara mitoni yang
diubah dan disesuaikan sendiri oleh para pelaku dengan tujuan untuk
menyesuaikan dengan adat istiadat setempat dan aliran agama yang mereka anut.
Meski
demikian, tidak sepenuhnya masyarakat berpendapat sama dan memberi tanggapan
positif akan paham tersebut. Justru paham inilah yang seringkali menimbulkan
protes keras dari beberapa pihak. Para penganut agama Islam aliran NU,
Muhammadiyah, dan LDII menyebutkan bahwa paham tersebut sama sekali bukan
ajaran Islam dan melenceng jauh dari nilai-nilai agama Islam, bahkan
diantaranya menganggap acara tersebut haram dilakukan karena dianggap melenceng
akan agama (bid’ah). Masyarakat yang menganut aliran agama tersebut tidak mau
datang keundangan acara mitoni yang diadakan warga lain. Hal tersebut dapat
menyinggung warga yang mengundang dan dapat menimbulkan pergunjingan yang tidak
baik dikalangan masyarakat.
Perbedaan
pendapat antara masyarakat yang memberikan tanggapan positif dengan masyarakat
yang memberikan tanggapan negatif, jika tidak ada rasa toleransi dan saling
menghargai dapat menimbulkan konflik di masyarakat Desa Semin Kulon tersebut.
Hal tersebut harus segera dicarikan jalan keluar agar tidak terjadi
perselisihan dan perpecahan diantara warga masyarakat Desa Semin Kulon.
RESOLUSI ATAU DISKUSI
Mitoni
merupakan warisan budaya yang telah lama ada dan mendarah daging di masyarakat
jawa. Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu siraman,
memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti
busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur,
memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog, pada
hakekatnya ialah upacara peralihan yang dipercaya sebagai sarana untuk
menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa
upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Selain
itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat
yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan
adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang
bersangkutan dimata kelompok sosial masyarakatnya.
Perbedaan
pandangan tentang budaya mitoni dikalangan masyarakat dapat berakibat fatal
jika kedua belah kubu tidak dapat saling mengalah dan coba membenarkan pendapat
mereka sendiri-sendiri. Hal tersebut dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan
masyarakat. Masyarakat yang menganggap budaya mitoni tidak seharusnya diadakan
karena bertentangan dengan syariat Islam seharusnya dapat memberikan pengertian
secara halus dan sabar kepada masyarakat yang masih melaksanakan budaya mitoni.
Hal tersebut untuk menanamkan pemahaman secara bertahap agar tidak terkesan
memaksakan perubahan yang sangat signifikan.
Pelaksanaan
mitoni sekarang ini memang telah berangsur-angsur berubah dari pada pelaksanaan
dahulu. Jika dahulu lebih kearah magis, pelaksanaan mitoni sekarang lebih
mengarah kereligi. Banyak penyesuaian tata cara mitoni mengarah kepada
tasyakuran. Kegiatan kondangan yang dulu dipimpin oleh dukun atau orang yang
dituakan sudah diganti dengan acara pengajian yang dipimpin oleh ustad. Acara
mandi kembang sudah banyak yang ditiadakan. Tata cara mitoni tersebut diubah
dan disesuaikan sesuai dengan kemauan yang punya hajat dengan tidak
meninggalkan kesakralan acara tersebut.
Kebudayaan
merupakan kekayaan bangsa yang patut untuk dijaga dan di lestarikan, tentunya
begitu pula dengan mitoni. Namun sebagai penganut Islam yang baik sudah
semestinya pula masyarakat dapat menjadikan agama bukan hanya sebagai ucapan
lidah, namun juga alat seleksi kebudayaan mana yang patut untuk dilakukan dan
tidak bertentangan dengan ajaran yang diyakini. Kebudayaan memang kerap
berhubungan dengan nilai-nilai yang bersifat religius, namun bukan berarti
harus di kait-kaitkan dengan religi lain yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar