Halaman

Senin, 18 Maret 2013

Kajian Lintas Budaya Asal Usul Mitoni

PERMASALAHAN

1.      Asal usul Mitoni atau Tingkeban
Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut "mitoni".
Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) dan pitu (tujuh) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
Sedangkan menurut cerita yang beredar di masyarakat Ritual mitoni atau tingkeban telah ada sejak zaman kuno. Menurut penuturan yang diceritakan secara turun temurun, asal usulnya sebagai berikut: Sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken Satingkeb, pernah punya anak sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang berumur panjang. Mereka telah meminta bantuan banyak orang pintar, dukun, tetapi belum juga berhasil. Karena sudah tak tahan lagi menghadapi derita berat dan panjang, kedua suami istri itu memberanikan diri memohon pertolongan dari Jayabaya, sang ratu yang terkenal sakti dan bijak. Raja Jayabaya yang bijak dan yang sangat dekat dengan rakyatnya, dengan senang hati memberi bantuan kepada rakyatnya yang menderita. Beginilah sikap ratu masa dahulu.
Kedua suami istri, dinasihati supaya melakukan ritual, caranya:
Sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah kepada Gusti, selalu berbuat yang baik dan suka menolong dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan. Mereka harus menyucikan diri, manembah kepada Gusti, Tuhan dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber. Kemudian berpasrah diri lahir batin. Sesudah itu memohon kepada Gusti, Tuhan,  apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk penguat doa dan penolak bala, supaya mendapat berkah Gusti, Tuhan. Rupanya, Tuhan memperkenankan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapatkan momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingkeb, upacara mitoni juga disebut Tingkeban.
Dari lain sumber menyebutkan bahwa Mitoni dan Tingkeban yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung]. Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkeban [terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46].

2.      Tata cara Mitoni atau Tingkeban
Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan. Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
a)      Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
b)      Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
c)      Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
d)     Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
e)      Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi lancar.
f)       Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
g)      Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
h)      Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut, upacara mitoni dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut. Upacara-upacara mitoni memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
a)      Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
b)      Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
c)      Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
d)     Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
e)      Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
f)       Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
g)      Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayi yang sedang dikandung mudah kelahirannya.
h)      Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
Namun dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat acara Mitoni atau Tingkeban banyak yang mengalami perubahan karena disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan yang ada di daerah tersebut. Begitu juga acara mitoni di Desa Semin Kulon, tata cara sudah diringkas dan sudah lebih mengarah kepada tasyakuran dari pada ritual memuja hal yang gaib.

SITUASI MASYARAKAT

Dalam penelitian ini penulis mengamati tata cara Mitoni atau Tingkeban di Desa Semin Kulon Kecamatan Wonogiri. Di Desa Semin kulon, masyarakat kebanyakan bermata pencaharian sebagai PNS, wiraswasta, petani, dan buruh. Tingkat pendidikan yang dienyam oleh masyarakat Desa Semin Kulon sudah bagus. Hal tersebut dapat dilihat dari warga yang berumur kurang dari 30 tahun minimal merupakan lulusan SMA. Banyak warga yang merupakan lulusan sarjana. Di Desa Semin Kulon, seluruh masyarakatnya beragama Islam. Namun ada berbagai aliran agama Islam yang berkembang dimasyarakat seperti: NU, Muhammadiyah, LDII, Islam Kejawen, dan Islam Abangan.
Rasa kebersamaan dan gotong royong masih terjalin sangat baik di Desa Semin Kulon ini. Masyarakat dapat saling menghormati dan menghargai. Jarang terjadi perbedaan pendapat yang sangat mencolok antar masyarakat. Selama ini perbedaan pendapat yang ada dimasyarakat dapat diselesaikan dengan baik melalui musyawarah bersama.


KONFLIK

Budaya mitoni masih sangat lekat dengan budaya jawa dan merupakan salah satu budaya yang paling populer di kalangan masyarakat jawa. Begitu pula dikalangan masyarakat yang tinggal di Desa Semin Kulon Kecamatan Wonogiri. Mayoritas masyarakat di Desa Semin Kulon menganggap budaya mitoni merupakan tradisi yang benar-benar sakral dan pantang dilewatkan, hal tersebut mengingat paham tentang ketakutan mereka akan ketidaksempurnaan bayi saat dilahirkan bila tidak dipitoni. Selain itu adanya ketakutan kalau yang gaib merasa ditinggalkan dan bayi tersebut dapat saja dikutuk untuk dijadikan peringatan nantinya. Hal lainnya tentu saja untuk meneruskan budaya yang telah lama turun temurun dari nenek moyang, sehingga sering kali jika ada keluarga yang tidak melakukan akan dicela warga lain.
Mitoni merupakan peninggalan dari jaman Hindu yang sudah mendarah daging dimasyarakat Desa Semin Kulon. Masyarakat yang menganut Islam Kejawen dan Islam Abangan menyebutkan bahwa ajaran ini juga mengandung nilai-nilai dan merupakan salah satu wujud ibadah islami yaitu untuk minta selamat pada yang kuasa melalui ibadah berbentuk ceremonial yang kerap kali memang disisipi nuansa islami misalnya Sholawatan, Yasinan, dan doa bersama. Banyak urutan tata cara mitoni yang diubah dan disesuaikan sendiri oleh para pelaku dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan adat istiadat setempat dan aliran agama yang mereka anut.
Meski demikian, tidak sepenuhnya masyarakat berpendapat sama dan memberi tanggapan positif akan paham tersebut. Justru paham inilah yang seringkali menimbulkan protes keras dari beberapa pihak. Para penganut agama Islam aliran NU, Muhammadiyah, dan LDII menyebutkan bahwa paham tersebut sama sekali bukan ajaran Islam dan melenceng jauh dari nilai-nilai agama Islam, bahkan diantaranya menganggap acara tersebut haram dilakukan karena dianggap melenceng akan agama (bid’ah). Masyarakat yang menganut aliran agama tersebut tidak mau datang keundangan acara mitoni yang diadakan warga lain. Hal tersebut dapat menyinggung warga yang mengundang dan dapat menimbulkan pergunjingan yang tidak baik dikalangan masyarakat.
Perbedaan pendapat antara masyarakat yang memberikan tanggapan positif dengan masyarakat yang memberikan tanggapan negatif, jika tidak ada rasa toleransi dan saling menghargai dapat menimbulkan konflik di masyarakat Desa Semin Kulon tersebut. Hal tersebut harus segera dicarikan jalan keluar agar tidak terjadi perselisihan dan perpecahan diantara warga masyarakat Desa Semin Kulon.

RESOLUSI ATAU DISKUSI

Mitoni merupakan warisan budaya yang telah lama ada dan mendarah daging di masyarakat jawa. Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog, pada hakekatnya ialah upacara peralihan yang dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Selain itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan dimata kelompok sosial masyarakatnya.
Perbedaan pandangan tentang budaya mitoni dikalangan masyarakat dapat berakibat fatal jika kedua belah kubu tidak dapat saling mengalah dan coba membenarkan pendapat mereka sendiri-sendiri. Hal tersebut dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan masyarakat. Masyarakat yang menganggap budaya mitoni tidak seharusnya diadakan karena bertentangan dengan syariat Islam seharusnya dapat memberikan pengertian secara halus dan sabar kepada masyarakat yang masih melaksanakan budaya mitoni. Hal tersebut untuk menanamkan pemahaman secara bertahap agar tidak terkesan memaksakan perubahan yang sangat signifikan.
Pelaksanaan mitoni sekarang ini memang telah berangsur-angsur berubah dari pada pelaksanaan dahulu. Jika dahulu lebih kearah magis, pelaksanaan mitoni sekarang lebih mengarah kereligi. Banyak penyesuaian tata cara mitoni mengarah kepada tasyakuran. Kegiatan kondangan yang dulu dipimpin oleh dukun atau orang yang dituakan sudah diganti dengan acara pengajian yang dipimpin oleh ustad. Acara mandi kembang sudah banyak yang ditiadakan. Tata cara mitoni tersebut diubah dan disesuaikan sesuai dengan kemauan yang punya hajat dengan tidak meninggalkan kesakralan acara tersebut.
Kebudayaan merupakan kekayaan bangsa yang patut untuk dijaga dan di lestarikan, tentunya begitu pula dengan mitoni. Namun sebagai penganut Islam yang baik sudah semestinya pula masyarakat dapat menjadikan agama bukan hanya sebagai ucapan lidah, namun juga alat seleksi kebudayaan mana yang patut untuk dilakukan dan tidak bertentangan dengan ajaran yang diyakini. Kebudayaan memang kerap berhubungan dengan nilai-nilai yang bersifat religius, namun bukan berarti harus di kait-kaitkan dengan religi lain yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar